Rabu, 19 Januari 2011

Jutek

“Mia, sarapan!” panggil mama dari dapur.
Suara berisik terdengar ketika seseorang menuruni tangga. Mia mengambil gelas dari rak dan mengisinya dengan air dari dispenser. Air putih yang menyehatkan di pagi hari. Dia kemudian berjalan ke meja makan sambil meminum airnya. Dia duduk di salah satu kursi, berseberangan dengan orang asing yang tidak dikenalnya. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa hingga gelasnya kosong.
Anak laki-laki itu sebaya dengannya, dia tersenyum pada Mia ketika Mia meletakkan gelas kosongnya di meja.
“Hai, Mia, aku...”
“Ma, siapa ini?” tanya Mia keras, tak menghiraukan sapaan orang di depannya.
Mama muncul dari kamar mandi.
“Oh, itu Roni, sepupumu dari Jakarta. Dia baru datang semalam.”
“Ngapain?” tanya Mia lagi pada mamanya, walau jelas dia sedang menatap Roni.
Lama tidak ada jawaban.
“Ma?”
“Papa belum cerita ke kamu? Roni pindah ke sekolahmu hari ini,” jawab Mama dari kamar mandi.
No, he didn’t tell me. Maybe he was too busy with his stuffs,” ujar Mia tak terlalu peduli dan menyendok nasi goreng ke piringnya, lalu mengambil sebuah telur mata sapi.
Setelah memanjatkan doa singkat, Mia mulai melahap nasi goreng yang masih hangat.
Roni yang sejak tadi tidak tahu harus bicara apa, melanjutkan sarapannya.
Kembali terdengar suara langkah kaki menuruni tangga, tapi tak seberisik tadi. Sosok Sasa, adik Mia, berjalan menuju dapur. Sama seperti Mia, dia mengambil gelas dari rak, tapi mengisinya dengan susu hangat yang baru selesai dipanaskan. Sasa berjalan ke meja makan sambil memegang gelas susunya dengan hati-hati.
“Hai, Kak Roni,” sapa Sasa singkat.
“Hai,” Roni tersenyum.
Setelah meletakkan gelasnya dengan aman di atas meja makan, Sasa mengambil sendiri nasi goreng ke piringnya.
“Sini, aku ambilin,” kata Roni.
“Enggak, aku bisa sendiri,” kata Sasa pelan tapi tegas.
“Oke.”
Roni belum pernah bertemu kakak adik yang aneh seperti mereka. Apalagi ternyata mereka adalah sepupunya. Roni dan Mia pernah bertemu sekali, dulu saat mereka masih kecil. Jelas Mia sudah lupa. Roni masih ingat sedikit kenangan itu. Kilasan saat mereka jalan-jalan ke Ragunan.
Dia berharap bertemu Mia berusia lima belas tahun yang manis dan sopan. Tapi yang dilihatnya sekarang jauh dari harapannya. Cewek di depannya jelas super cuek dan super jutek. Dan Sasa, gadis kecil berumur delapan tahun itu, seperti punya otak orang dewasa dalam kepalanya. Kata-katanya memang tidak sejutek Mia, tapi tenang dan tegas.
Itu hanya analisa kasar Roni yang belum ada sehari di situ tentang kedua sepupunya. Mungkin kenyataannya jauh berbeda dari perkiraannya. Semoga.

Spy Girl

Kami berkenalan. Oke, itu hal yang biasa. Bersalaman dan saling memberi tahu nama. Tak ada yang spesial. Biasa saja. Tapi kemudian dia ingin mengenalku lebih jauh. Oke, ini mulai menarik. Aku jadi ingin tahu lebih jauh juga tentangnya. Maka, aku pun mencari tahu.

Ini ketiga kalinya aku memata-matai, mencari informasi tentang seseorang. Menyenangkan. Dan dengan teknologi informasi yang sekarang telah berkembang begitu pesat, lebih menyenangkan lagi. Tapi, aku jadi tahu terlalu banyak.. Aku masuk terlalu jauh.. Aku seharusnya menanyakan langsung padanya, bukan memata-matai seperti ini walau semua informasi yang kuperoleh berasal dari sarana publik, bukan personal. Aku tidak membobol surat-surat pribadi di e-mail-nya. Aku hanya menelusuri percakapan-percakapan yang terbuka untuk umum. Siapa pun bisa membacanya. Namun, aku jadi merasa mengenalnya terlalu cepat.
Apakah dia memata-mataiku juga? Aku tak pernah yakin soal ini.

Dia cukup mudah untuk dimata-matai, saat dia masih suka memanfaatkan jaringan sosial di internet sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan teman-teman dan berbagi tentang kegiatannya. Ditambah lagi, dia orangnya eksis banget.

Aku tetap ingin tahu tentangnya dan kegiatan-kegiatannya walau sekarang kami tak sedekat dulu. Aku masih berusaha mengikuti setiap perkembangan, tapi makin lama minat itu makin berkurang. Aku tak lagi selalu membuka profilnya di salah satu situs jaringan sosial. Tapi kadang aku mengikuti beberapa percakapan yang menarik. ^_^

Goresan Sesal (?)

Saat kubuka lembar-lembar kertas itu, bisa kurasakan kehadirannya
terangkai melalui untaian kalimat yang kusalin dari pesan singkat
yang dulu pernah dikirimkannya ke ponselku
kenangan yang kucipta agar pesan-pesan itu tak hilang tanpa bekas
saat kelak aku menghapusnya dari kotak masuk

Tapi kini kehadiran yang kurasakan itu sangat asing
dia sudah begitu jauh, tak lagi ada dalam hatiku,
maupun dalam kotak masuk di ponselku
Kehadirannya yang kurasakan dari untaian kalimat
di lembar-lembar kertas itu adalah semu
yang tertinggal hanyalah kalimat-kalimat puitis
yang tak ingin kuketahui lagi maknanya
kalimat-kalimat yang bercampur dengan kenangan-kenanganku yang lain.

jangan lagi goreskan apapun dalam hidupku

Senin, 17 Januari 2011

Sound

Aku melihatnya dari kejauhan. Iya, aku melihat semangatnya di atas panggung itu, juga keramaian yang mengelilinginya. Keramaian yang tercipta karenanya dan ditujukan untuknya. Aku ingin ikut berbaur di sana.
Aku pun berjalan perlahan menghampiri keramaian itu, semangat yang bergejolak itu, dan menyatu bersama mereka. Aku hanyut dalam suasana yang ada. Musik yang menghentak-hentak mengiringi vokalnya yang disuarakan dengan penuh semangat. Aku melihatnya dengan jelas dari tempatku berdiri, tak melepas pandanganku darinya, mengamati setiap aksi panggungnya, mengamati setiap perubahan ekspresi wajahnya. Apa dia melihatku? Aku mencari momen saat dia melihatku. Aku ingin dia melihatku, walau hanya beberapa detik. Apakah dia pura-pura tidak melihatku?
Tak masalah, aku yakin dia pasti sudah melihatku berdiri di sini, sangat dekat dengannya, ikut bersemangat bersamanya, ikut melonjak seiring hentakan musik bersamanya. Aku senang bisa melihatnya di sana, di atas panggung itu, karena aku bisa memandangnya dengan puas, walau bukan hanya aku yang sedang memandangnya saat itu. Semua mata yang ada mungkin sedang memandangnya bersamaku.

Minggu, 16 Januari 2011

Gadis sketsa

Aku sedang asyik membuat sketsa di salah satu sudut ruangan saat aku melihatnya sedang duduk di meja seberang, tertangkap basah sedang mengamatiku, entah sudah berapa lama.
Dia tampak malu-malu dan menyunggingkan senyum tipis.
Aku pun tersenyum, dia lalu buru-buru menatap ke arah lain.
Aku menahan tawa dan kembali pada kertas gambarku, menggoreskan pensilku, menghapus, menggoreskan pensilku lagi, dan menghapus lagi. Aku mengangkat kertas gambarku dan mengamati sketsa yang telah kubuat.
Hm.. mungkin akan kuperbaiki lagi nanti setelah di rumah.
Saat menurunkan kertas gambar, aku melihatnya masih duduk di meja seberang, ngobrol dengan teman-temannya, pura-pura tidak melihat ke arahku.
Aku membereskan barang-barangku lalu berdiri. Aku sengaja lewat di dekatnya untuk berpamitan.
"Duluan ya," ucapku sambil menepuk pundaknya.
"Oh, iya," jawabnya agak canggung sambil tersenyum.